Meminta maaf adalah pekerjaan ringan
yang hanya membutuhkan syarat : pengakuan atas kesalahan dan kelemahan kita.
Tidak disebut permintaan maaf yang tulus jika masih diselubungi perasaan tidak
bersalah dan kesombongan. Padahal setiap kita sejatinya memang bertaburkan
kesalahan dan kekurangan. Karenanya, semestinya meminta maaf harus menjadi
kebiasaan yang tidak bisa kita tinggalkan.
Meminta maaf antara suami istri bukanlah upacara simbolik semacam hari raya Idul Fitri semata. Meminta maaf juga tidak perlu menunggu adanya sebuah konflik yang membuat hati suami istri berjarak. Meminta maaf cukuplah menjadi kebiasaan sederhana setiap kita merasa kurang optimal atas hal-hal yang kita lakukan. Bahkan saat tidak ada satupun kesalahan yang kita lakukan, minta maaf tetap bisa kita ungkapkan. Inilah yang akan mengundang kemesraan kita sekaligus potensi kesombongan yang ada dalam diri kita.
Apalah kita jika harus berat dalam meminta maaf pada suami atau istri kita ? Sementara manusia terbaik yang pernah ada, Rasulullah SAW juga tanpa canggung meminta maaf pada istrinya. Dari Shofiyah ra, Rasulullah bersabda padanya : Wahai Shafiyyah, aku minta maaf kepadamu atas perlakuanku kepada kaummu karena mereka telah mengatakan saya begini dan begitu (HR Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir)
Terakhir, kita perlu merenungi sebuah kisah romantis salah satu sahabat Rasulullah SAW yang utama. Yang lisannya tak pernah kelu dalam meminta maaf. Hatinya pun tak merasa gengsi saat berharap ridho dari istrinya. Bahkan ia merangkai permohonan maafnya dalam sebuah gelaran baris-baris puisi yang indah. Ini bukan sekedar permohonan maaf biasa, namun ada energi kemesraan di dalamnya. Lebih dari itu, Abu Darda lebih terlihat sedang berkata-kata mesra dari hanya sekedar meminta maaf. Ternyata, dalam meminta maaf pun ada seninya. Sebuah seni yang menambah mesra. Subhanallah.
Kisah Permohonan Maaf Abu Darda pada Istrinya
Abu Darda adalah salah seorang sahabat yang romantis, suatu ketika ia berpesan pada istrinya : Bilamana engkau melihatku marah, maka relakanlah aku. Dan bilamana aku melihatmu marah, aku pun akan merelakanmu.
Kemudian Abu Darda melantunkan sebuah syair cinta dan permohonan maafnya :
Berilah maaf atas kesalahanku
Cintaku niscaya menyertaimu selalu
Janganlah menyebut keburukanku
Kalau aku marah terbawa nafsu
Janganlah mentatahku
Seperti kau sekali melubangi kayu
Sebab engkau tidak tahu
Bagaimana rasa terasing diriku
Jangan banyak mengeluh
Lalu daya menjadi rapuh
Hatikupun menjadi tak acuh
Dan semua hati terpecah belah
Aku lihat di hati cinta dan luka parah
Bilamana bertemu cinta tetap pergi tak mau mengalah
Aduhai hati yang diberi hanif, lihat sejenak kembali kata-kata Abu Darda di atas. Dengan sedikit kita merenung, sudah jelas bahwa yang diinginkan Abu Darda bukan sekedar keridhoan istrinya atas kesalahannya. Ada misi tersembunyi dibalik semua itu. Abu Darda sesungguhnya ingin menyanjung istrinya dengan kata-kata mesra. Maka dihiasnya dengan ungkapan maaf yang berbalut puisi mesra. Namanya juga romantis, pasti kreatif !
Meminta maaf antara suami istri bukanlah upacara simbolik semacam hari raya Idul Fitri semata. Meminta maaf juga tidak perlu menunggu adanya sebuah konflik yang membuat hati suami istri berjarak. Meminta maaf cukuplah menjadi kebiasaan sederhana setiap kita merasa kurang optimal atas hal-hal yang kita lakukan. Bahkan saat tidak ada satupun kesalahan yang kita lakukan, minta maaf tetap bisa kita ungkapkan. Inilah yang akan mengundang kemesraan kita sekaligus potensi kesombongan yang ada dalam diri kita.
Apalah kita jika harus berat dalam meminta maaf pada suami atau istri kita ? Sementara manusia terbaik yang pernah ada, Rasulullah SAW juga tanpa canggung meminta maaf pada istrinya. Dari Shofiyah ra, Rasulullah bersabda padanya : Wahai Shafiyyah, aku minta maaf kepadamu atas perlakuanku kepada kaummu karena mereka telah mengatakan saya begini dan begitu (HR Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir)
Terakhir, kita perlu merenungi sebuah kisah romantis salah satu sahabat Rasulullah SAW yang utama. Yang lisannya tak pernah kelu dalam meminta maaf. Hatinya pun tak merasa gengsi saat berharap ridho dari istrinya. Bahkan ia merangkai permohonan maafnya dalam sebuah gelaran baris-baris puisi yang indah. Ini bukan sekedar permohonan maaf biasa, namun ada energi kemesraan di dalamnya. Lebih dari itu, Abu Darda lebih terlihat sedang berkata-kata mesra dari hanya sekedar meminta maaf. Ternyata, dalam meminta maaf pun ada seninya. Sebuah seni yang menambah mesra. Subhanallah.
Kisah Permohonan Maaf Abu Darda pada Istrinya
Abu Darda adalah salah seorang sahabat yang romantis, suatu ketika ia berpesan pada istrinya : Bilamana engkau melihatku marah, maka relakanlah aku. Dan bilamana aku melihatmu marah, aku pun akan merelakanmu.
Kemudian Abu Darda melantunkan sebuah syair cinta dan permohonan maafnya :
Berilah maaf atas kesalahanku
Cintaku niscaya menyertaimu selalu
Janganlah menyebut keburukanku
Kalau aku marah terbawa nafsu
Janganlah mentatahku
Seperti kau sekali melubangi kayu
Sebab engkau tidak tahu
Bagaimana rasa terasing diriku
Jangan banyak mengeluh
Lalu daya menjadi rapuh
Hatikupun menjadi tak acuh
Dan semua hati terpecah belah
Aku lihat di hati cinta dan luka parah
Bilamana bertemu cinta tetap pergi tak mau mengalah
Aduhai hati yang diberi hanif, lihat sejenak kembali kata-kata Abu Darda di atas. Dengan sedikit kita merenung, sudah jelas bahwa yang diinginkan Abu Darda bukan sekedar keridhoan istrinya atas kesalahannya. Ada misi tersembunyi dibalik semua itu. Abu Darda sesungguhnya ingin menyanjung istrinya dengan kata-kata mesra. Maka dihiasnya dengan ungkapan maaf yang berbalut puisi mesra. Namanya juga romantis, pasti kreatif !
0 komentar:
Posting Komentar