Melakukan penafsiran terhadap
Kitabullah Ta’ala dan menyibukkan diri dengannya merupakan pekerjaan agung
nilainya dan memerlukan kebersihan hari, kesucian pikiran, keikhlasan hati, dan
kenormalan akal. Karena itu tidak seyogyanya yang melakukannya hanyalah
orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria dan syarat-syaratnya. Ulama telah
menjelaskan syarat-syarat dan adab-adab yang harus dipenuhi oleh orang yang
hendak menafsirkan al-Qur’an. Mereka membaginya ke dalam sejumlah bagian, yang
terpenting adalah :
I.
Pertama, syarat-syarat agama dan akhlak.
1.
Seyogyanya orang yang menafsirkan al-Qur’an
memiliki akidah yang benar, iman yang kuat, berhias dengan akhlak al-Qur’an dan
memegang teguh sunnah agama.
Orang yang tidak memenuhi syarat
ini berarti tidak memenuhi syarat dasar. Imam al-Suyuthi, mengutip pendapat Abu
Thalib al-Thabari, berkata : “Ketahuilah, bahwa syarat pertama seorang
penafsir adalah akidah yang benar, memegang teguh sunnah agama. Orang yang
cacat agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan dunia, apalagi dalam urusan
agama. Di dunia, ia juga tidak dipercaya menyampaikan berita dari seorang
ilmuwan, apalagi menyampaikan berita tentang rahasia-rahasia dari Allah
Ta’ala.” [1]
Tidak samar lagi bahwa orang
yang akidahnya salah akan sengaja melakukan perubahan nash atau memaksa diri
untuk mentakwilkannya sampai sesuai dengan apa yang diyakininya, sehingga ia
akan sesat dan menyesatkan orang lain (ضَالٌ مُضِلٌ).
2. Menjauhkan
diri dari hawa nafsu
Seyogyanya orang yang melakukan
pembahasan apapun, lebih-lebih tentang tafsir Kitabullah Ta’ala memurnikan
orientasinya, bersikap obyektif, melepaskan keinginan pribadi dan menjadikan
kebenaran sebagai pemandunya.
Sebab memperturutkan hawa nafsu
akan mendorong pelakunya untuk menyimpang dari kebenaran karena sikap
fanatiknya terhadap pendapat dan madzhabnya. Ia akan jatuh ke dalam kesesatan
yang nyata. Hal ini telah menimpa para pengikut aliran sesat dan kaum ekstrim.
Allah Ta’ala berfirman : وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى
فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ “dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu , karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [2]
Disamping itu, ia juga harus terbebas dari
kesombongan , cinta dunia dan kemewah-mewahannya.
II. Kedua,
Syarat-Syarat Intelektual
Seyogyanya
seorang mufassir adalah orang yang cerdas dan memiliki kemampuan-kemampuan
intelektual lebih, sehingga membuatnya mampu memahami maksud-maksud al-Qur’an,
mampu menangkap target-targetnya, mampu memahami pola-polanya dan menyelami
makna-maknanya. Ia juga harus mampu memiliki kemampuan argumentasi yang kuat,
cermat, mampu menggali hukum denngan baik, mampu menguasai berbagai makna dan
pendapat, mampu mentarjih bila terjadi keragaman dalil-dalil, mampu
mengkompromikan berbagai pendapat dan membandingkannya.
III. Ketiga,
Syarat-Syarat Ilmiah
Seorang
mufassir haruslah menguasai denngan baik ilmu-ilmu yang membuatnya mampu
melakukan penafsiran. Yang terpenting adalah :
1. Bahasa
Arab dan cabang-cabangnya.
Sebab al-Qur’an
turun dalam bahasa Arab, sehingga pemahamannya sangat terkait dengan
pengetahuan tentang kosa-kata bahasa Arab, makna-maknanya, wajah-wajah I’rab,
konjugasi kata, pola susunan kalimat dan gaya-gaya bahasanya. Dengan demikian
seseorang akan mampu menangkap hakikatkemukjizatan al-Qur’an. Mujahid berkata,
tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berbicara tentang (menafsirkan) Kitabullah bila ia tidak mengetahui bahasa
Arab.
Tegasnya seorang mufassir
haruslah menguasai hal-hal berikut :
a. Ilmu Bahasa
dan Konjugasi, agar dapat memahami makna kata-kata dalam al-Qur’an sesuai
dengan makna asalnya, mengenal maknanya ketika al-Qur’an turun, dan harus
menelaah secara luas kamus-kamus agar dapat mengetahui sinonim , homonym dan
yang sejenisnya.
b. Ilmu Nahwu
dan Sharaf. Karena makna bergantung pada pengetahuantentang I’rab dan
penandaan kata-kata. Dan dengan sharaf diketahui bentuk dan susunan kata-kata.
c. Adab dan
Ilmu Balaghah, yakni bayan, ma’ani dan badi’. Karena al-Qur’an
turun dengan gaya bahasa arab yang fasih dan menantang mereka dengan kemukjizatannya
yang bersifat bayan dan balaghah. Sehingga merupakan suatu
keniscayaan bagi mufassir untuk mengetahui pola-pola bayaniyah dan
memahami aspek-aspek kemukjizatannya agar ia mampu menangkap kalimat-kalimat
khusus dan aspek-aspek keindahannya, agar dapat memahami al-Qur’an dengan
benar.
2. Ilmu-Ilmu
al-Qur’an.
Seyogyanya
mufassir memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu-ilmu dasar yang
berkaitan langsung dengan al-Qur’an dan menguasainya dengan baik, seperti ilmu qira‘at,
ilmu asbab nuzul, pengetahuan tentang makki dan madani, muhkam
dan mutasyabih,’am dan khash, nasikh dan mansukh dan lain-lain. Semua itu
dapat membantunya memahami makna-makna al-Qur’an dan menjaganya dari
terpeleset. Tidak samar lagi bahwa wajib bagi mufassir untuk menghafal seluruh
teks al-Qur’an agar ia mampu memahaminya dengan sebenar-benarnya dan
mencernanya dengan sempurna.
3. Ilmu Ushuluddin
dan Tauhid.
Ini dapat membuat
mufassir mampu memahami dasar-dasar akidah Islam, seperti mengetahui
sifat-sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala dan hal-hal yang wajib bagi-Nya, yang
boleh dan yang mustahil bagi-Nya. Ilmu ini juga membantunya dalam memahami yang
muhkam dan yang mutasyabih dan menjauhkannya dari terpeleset.
4. Ilmu Ushul
Fiqh.
Ilmu ini merupakan
keniscayaan bagi bagi mufassir, sebagaimana niscaya bagi seorang faqih agar
terjaga dari kesalahan menggali hukum syara’ dari ayat-ayat al-Qur‘an dan
menolongnya dalam mengetahui aspek-aspek argumentasi dari teks dan menentukan
kaidah-kaidah dalam penggalian hukum. Ilmu Ushul mengharuskan seorang
mufassir untuk memahami fiqih dan mengetahui hukum-hukum syara’ dan dalil-dalil
agar ia mampu menguasai hukum-hukum dan mengetahui cara-cara penggalian hukum.
5. Hadis
dan ilmu-ilmunya.
Merupakan suatu
kewajiban bagi mufassir untuk memahami sunnah Rasul saw. baik dari segi riwayat
maupun dirayah agar ia mampu menguasai tafsir ma‘tsur, menngetahui
sunnah yang merinci ke-mujmal-an al-Qur’an, sunnah yang menjelaskan ke-mubham-an
al-Qur’an, lebih-lebih tentang nasikh dan mansukh, asbab nuzul, tarikh
nuzul dan lain-lain yang semuanya dibahas di dalam ilmu hadis. Mufassir
juga harus menelaah pendapat para sahabat dan tabi’in. karena mereka adalah
orang-orang yang paling tahu tentang al-Qur’an dan ilmu-ilmunya. Berkaitan
dengan telaah terhadap hadis, mufassir juga harus mengkaji sirah nabawiyyah
untuk mengetahui kondisi dan peristiwa-peristiwa dimana suatu turun, seperti
peperangan dan hal-ihwal jihad.
6. Kebudayaan
Modern dan Hal-Ihwal Masyarakat.
Seorang mufassir
juga harus memahami keadaan zamannya dan menguasai keadaan masyarakat, menganal
segi-segi positif dan negatifnya, penyakit-penyakit dan obat-obatnya, agar ia
mampu berbicara kepada masyarakat sesuai dengan kadar intelektualitas mereka
dan mengontrol kondisi masyarakat. Sehingga ia menjadi pen-dakwah yang memiliki
ketajaman dan mampu menangani penyakit masyarakat dengan al-Qur’an serta
mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
IV. Ke-empat,
termasuk syarat terpenting atau ilmu terpenting yang harus dikuasai oleh
mufassir adalah ilmu Mauhibah.
Yaitu ilmu yang
diberikan oleh Allah Ta’ala bagi yang mengamalkan ilmunya dan ikhlas dalam
mengamalkannya. Ilmu ini tidak akan diperoleh oleh orang yang dihatinya ada
bid’ah, kesombongan, cinta dunia atau kecenderungan. Ilmu ini hanya diberikan
kepada hati yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman : وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ “dan bertakwalah
kepada Allah dan Allah akan menngajarimu” [3] semua ilmu ini dan
pengetahuan-pengetahuan tersebut harus dikuasai oleh mufassir dan menjadi
senjata baginya sebelum menafsirkan Kitabullah agar ia mampu memahaminya dan
menangkap maksudnya. Al-’Allamah al-Zarqani menuturkan bahwa syarat-syarat ini
tidak lain untuk merealisasikan tingkat tafsir tertinggi. Adapun makna-makna
umum yang membuat seseorang merasakan keagungan Tuhannya dan yang dipahami
dengan mudah, maka itu adalah kadar hamper bisa dipahami oleh semua orang. Itulah
yang diperintahkan untuk direnungi dan dihayati. Karena Allah telah
memudahkannya. Ini adalah tingkat tafsir terendah.[4]
Baik yang dimaksud
tafsir tertinggi maupun terendah, maka Kitabullah Ta’ala tetaplah agung
derajatnya dan tinggi nilainya, yang seyogyanya tidaklah menafsirkannya kecuali
orang yang telah memenuhi syarat dan kecakapan tertentu. Tingkat tafsir yang dihasilkan
sebanding dengan pemahamannya terhadap lautan ilmu-ilmu al-Qur’an dan
pengetahuannya tentang rahasia-rahasianya. Al-Zarkasyi berkata : “Kitabullah,
lautannya dalam dan memahaminya memerlukan kecermatan yang tidak bisa dijangkau
kecuali oleh orang yang menguasai ilmu-ilmu, bertakwa kepada Allah dalam
keadaan sembunyi maupun terang-terangan dan menyerahkan kepada-Nya ketika
menghadapi ayat-ayat mutasyabih, yang hakikatnya tidak bisa diketahui kecuali
oleh orang yang mendapat bimbingan dari-Nya. Makna lahiriyah adalah untuk umum,
yakni dengan pendengaran lahiriyah. Isyarat adalah untuk orang khusus, yakni
dengan akal. Makna-makna terhalus adalah untuk para wali, yakni dengan mata hati.
Dan hakikat adalah untuk para nabi, yakni dengan penyerahan diri secara total.”[5]
0 komentar:
Posting Komentar