(QS. Al-Baqarah [2]: 183-185)[1]
"Dengan
menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang."
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ. أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ
وَأَن تَصُومُواْ
خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن
شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari
yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) :
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan
bulan yang didalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan
yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kalian hadir (dinegeri tempat
tinggalnya) dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al Baqarah
[2]: 183 – 185)
Allah سبحانه و تعالي berfirman kepada orang-orang yang beriman dari umat ini,
memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa yaitu menahan diri dari makan, minum
dan jima’, dengan niat ikhlas karena Allah سبحانه و تعالي. Karena di dalam puasa terkandung penyucian dan pembersihan
jiwa dari perbuatan yang hina dan akhlak yang rendah.
Allah سبحانه و تعالي menyebutkan (dalam ayat di atas), (bahwa) sebagaimana Dia
mewajibkan atas kalian (orang-orang yang beriman) puasa, maka Allah سبحانه و تعالي (juga) mewajibkannya atas umat-umat yang terdahulu, sebelum
kalian. Maka bagi mereka terdapat contoh yang baik, dan hendaklah kalian
bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban ini, lebih sempurna dari
orang-orang yang terdahulu, agar kalian benar-benar taqwa kepada Allah dan takut
kepada-Nya.
Kemudian Allah سبحانه و تعالي menerangkan ketentuan puasa. Bahwasanya puasa itu tidaklah
setiap hari, (yang demikian itu) agar tidak memberatkan jiwa, sehingga
menjadi lemahlah (jiwa) dari memikul dan menunaikannya. Tetapi puasa itu
(dikerjakan) pada hari-hari tertentu. Yang mana pada permulaan Islam,
orang-orang beriman berpuasa tiga hari setiap bulannya, kemudian hal ini
dihapus dengan puasa pada bulan Ramadhan.
Kemudian Allah سبحانه و تعالي menerangkan hukum puasa sebagaimana terjadi pada awal permulaan
Islam. Dia menerangkan bahwa orang yang sakit dan musafir (orang yang
bepergian) tidak (wajib) berpuasa dalam keadaan sakit atau bepergian,
dikarenakan kesulitan pada dua keadaan itu (untuk berpuasa), bahkan keduanya boleh
berbuka dan (harus) menggantinya pada waktu yang lain.
Adapun orang yang sehat dan mukim, yang mana ia mampu
berpuasa, maka ia dibolehkan memilih antara puasa (atau) memberi makan
(fakir-miskin). Jika ia berkehendak puasa maka ia puasa, dan boleh
berkehendak tidak puasa dengan memberi makan setiap hari seorang miskin, jika
ia memberi makan lebih dari seorang miskin setiap harinya, maka hal itu baik
(baginya), adapun jika ia berpuasa maka hal itu lebih utama daripada memberi
makan.
Kemudian Allah سبحانه و تعالي memuji bulan puasa dari bulan-bulan
(yang lain), dengan diturunkannya Al Qur’an yang mulia sekaligus di Baitul
Izzah dari langit dunia. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan pada malam
lailatul qadar (malam yang ditentukan), sebagaimana Allah سبحانه و تعالي berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ
الْقَدَرِ
“Sesungguhnya kami telah menurunkan
Al Qur’an pada lailatul qadar” (QS. Al Qadr: 1)
Dan
Allah سبحانه و تعالي berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ
مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya kami menurunkan Al Qur’an pada malam yang
diberkati” (QS. Ad Dukhaan : 2)
Kemudian Allah سبحانه و تعالي menurunkan (secara) berangsur-angsur sesuai dengan
kejadian-kejadian (yang terjadi) atas Rasulullah صلي الله عليه وسلم .
Kemudian Allah سبحانه و تعالي memuji Al Qur’an yang telah diturunkannya pada Muhammad صلي الله عليه وسلم, sebagai petunjuk bagi hati para hamba yang beriman kepada Al
Qur’an, membenarkan serta mengikutinya. Dalil-dalil Al Qur’an dan hujjahnya
jelas, terang bagi yang memahami dan memperhatikannya, yang menunjukkan atas
kebenaran, menolak kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan kesesatan, pemisah
antara kebenaran dan kebatilan, serta yang halal dan yang haram.
Kemudian dihapuslah (hukum yang membolehkan)
memilih bagi orang yang mukim dan sehat. Dan Allah سبحانه و تعالي mewajibkan puasa Ramadhan dengan
kewajiban pengharusan (untuk berpuasa) atas orang yang menyaksikan hilal
Ramadhan sedang ia mukim di negeri ketika datang bulan Ramadhan, dan ia sehat
jasmani untuk berpuasa. Tatkala diwajibkannya puasa, Allah سبحانه و تعالي mengulangi penyebutan keringanan bagi orang yang sakit dan
musafir (untuk) berbuka dengan syarat mengganti (pada hari lain). Maka
barangsiapa ditimpa sakit yang memberatkannya untuk puasa atau (bahkan)
bertambah berat sakitnya, ataupun ia dalam (keadaan) bepergian maka (dibolehkan)
ia berbuka, apabila ia berbuka maka (wajib baginya mengganti) hari-hari
berbukanya (pada hari yang lain). Oleh karena itu Allah سبحانه و تعالي berfirman:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ
يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al
Baqarah : 185)”.
Sungguh Allah سبحانه و تعالي telah meringankan bagi kalian untuk berbuka dalam keadaan sakit
dan ketika bepergian, bersamaan dengan itu Allah سبحانه و تعالي juga mewajibkan puasa bagi orang yang mukim dan sehat, (hal ini
adalah) untuk kemudahan, dan sebagai rahmat bagi kalian.
Imam Ibnu Katsir berkata sesudah
menafsirkan ayat tersebut (Al Baqarah : 185) : “Disini terdapat beberapa
masalah yang berhubungan dengan ayat ini” :
1.
Sebagian
kelompok dari ulama salaf berpendapat bahwa : Barang siapa yang mukim pada awal
bulan, kemudian bepergian dipertengahannya, maka tidak diperbolehkan berbuka
dengan alasan bepergian dan keadaan seperti ini. Karena firman Allah سبحانه و تعالي :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
“Barang siapa diantara kamu hadir
(dinegeri tempat tinggalnya) dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al Baqarah : 185)”.
Dan hanyalah diperbolehkan berbuka
bagi musafir, (jika) nampak hilal bulan Ramadhan, sedangkan ia pada waktu itu
sedang bepergian.
Ini merupakan pendapat yang asing,
Abu Muhammad bin Hazm رحمه الله menukilkan dalam kitabnya “Al-Muhalla” dari sekelompok sahabat
dan tabi’in. Riwayat dari mereka tersebut terdapat koreksi. Wallahu a’lam,
Karena didapati pada sunnah bahwa Rasulullah keluar pada bulan Ramadhan untuk
perang Fathul Makkah. Beliau berjalan, hingga sampai pada suatu tempat, beliau
berbuka, dan memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berbuka (HR. Bukhari dan
Muslim).
2.
Sebagian
sahabat dari tabi’in berpendapat tentang wajibnya berbuka ketika berpergian,
karena firman Allah سبحانه و تعالي :
فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu”.
Yang benar adalah perkataan jumhur
ulama : Bahwa masalah ini adalah boleh puasa atau berbuka dan bukan wajib.
Karena dahulu sahabat-sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم keluar bersama Rasulullah dalam bulan Ramadhan, seorang sahabat
berkata : (diantara kita ada yang berpuasa dan ada juga yang berbuka, tidaklah
seorang yang berpuasa mencela yang berbuka, dan tidaklah orang yang berbuka
mencela yang berpuasa). Seandainya berbuka itu wajib, niscaya Nabi صلي الله عليه وسلم mengingkari yang berbuka namun yang terdapat dari perbuatan
Rasulullah, bahwa beliau pada semisal keadaan ini berpuasa, seperti yang
terdapat pada shohih Bukhari dan Muslim dari Abu Darda رضي الله عنه ia berkata: ‘Kami bepergian bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan
dalam suasana yang sangat panas, sehingga diantara kita ada yang meletakkan
tangannya diatas kepalanya, lantaran sangat panas. Dan tidaklah ada yang
berpuasa diantara kita kecuali Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan Abdullah bin Rawahah.
3.
Berkata
sekelompok ulama, diantaranya Imam Syafi’i رحمه الله: Berpuasa
ketika bepergian adalah lebih utama dari berbuka, berdasarkan perbuatan
Rasulullah sebagaimana Hadits diatas.
Sekelompok
yang lain berkata: Bahkan berbuka adalah lebih utama karena mengambil
keringanan.
Sekelompok
yang lainnya berkata keduanya sama, sebagaimana Hadits ‘Aisyah bahwa Hamzah bin
Amru al-Aslami رضي الله عنه berkata: Wahai Rasulullah, saya banyak berpuasa, apakah boleh
saya berpuasa ketika bepergian?. Beliau bersabda:
إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Jika
engkau berkehendak maka puasalah, dan jika engkau berkehendak untuk berbuka,
maka berbukalah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan
dikatakan : Jika berpuasa berat baginya (musafir) maka berbuka lebih utama,
karena Hadits Jabir رضي الله عنه bahwa Rasulullah melihat seorang lelaki dikerumuni maka beliau
bersabda : Apa ini ?. Mereka berkata : Seorang yang berpuasa. Lalu beliau
bersabda :
لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa
ketika safar”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun jika ia menolak sunnah (berpuasa tatkala safar)
dan berpendapat makruhnya berbuka maka orang seperti ini wajib berbuka dan
diharamkan baginya berpuasa, demikian pula sebaliknya. Saya (Syaikh Salim al
Hilali) berkata : Hadits-Hadits tersebut memberi faidah pilihan, bukanlah
keutamaan, akan tetapi keutamaan berbuka dari berpuasa (ketika safar)
didasarkan kepada Hadits-Hadits yang umum, seperti sabda Nabi صلي الله عليه وسلم yang dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu
Hibban dari Ibnu Umar رضي الله عنهما dengan sanad shahih:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَي رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ
أَنْ تُؤْتَي مَعْصِيَتَهُ
“Sesungguhnya Allah menyukai keringanan-Nya diamalkan
sebagaimana Allah membenci kemaksiatan didatangi.”
Namun hal tersebut dibatasi bagi orang yang tidak ada
kesulitan atasnya untuk mengqadha dan menunaikannya, agar keringanan (berbuka
dalam safar) tidak menyimpang dari tujuan yang dimaksud. Sungguh hal itu telah
dijelaskan dengan tidak ada kesamaran padanya (sebagaimana telah diriwayatkan).
Dari Abu Said al Khudri رضي الله عنه dalam sunan
Tirmidzi dengan sanad shahih bahwa para sahabat berpendapat orang yang
mempunyai kekuatan kemudian berpuasa (dalam safar) maka (hal itu) baik, dan
barang siapa lemah kemudian berbuka (dalam safar) (hal itu) baik.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah سبحانه و تعالي memberi kepadamu petunjuk dan ketaqwaan dan memberimu pemahaman
dalam agama-, bahwa puasa ketika bepergian apabila hal itu terasa berat bagi
seorang hamba maka bukanlah suatu kebaikan sama sekali, bahkan berbuka itu
lebih utama dan lebih disukai oleh Allah سبحانه و تعالي. Yang membenarkan (perkataan ini) Hadits yang diriwayatkan
lebih dari seorang sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم beliau bersabda: لَيْسَ
مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ “Bukanlah termasuk kebaikan berpuasa ketika
bepergian!”.
4.
Qadha
(mengganti puasa di hari lain) apakah wajib dilaksanakan berturut-turut atau
boleh terpisah? Pada masalah ini ada dua perdapat :
Yang pertama: wajib berturut-turut, karena qadha
(mengganti) menyamai yang diganti.
Yang kedua: Tidak wajib berturut-turut, tetapi
jika ia berkehendak, (dapat) dilakukan berturut-turut. Ini perkataan jumhur
salaf dan khalaf, dan perkataan ini dalil-dalilnya kokoh. Yang mana
berturut-turut hanyalah wajib dalam satu bulan, karena harusnya menunaikan pada
bulan Ramadhan. Adapun sesudah berlalunya Ramadhan, maka yang dimaksud adalah
puasa hari-hari tertentu (untuk mengganti) hari berbuka, oleh karena itu Allah سبحانه و تعالي berfirman :
فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang
ditinggalkan” Kemudian Allah سبحانه و تعالي berfirman :
يُرِيْدُ اللهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al
Baqarah : 185)”
Saya (Syekh Salim al Hilali) berkata: Apa yang dipilih
oleh Al-’Allaamah An-Nahrir Ibnu Katsir itulah yang benar, lihatlah
perinciannya dengan dalil-dalilnya dalam kitab kami “Sifat Puasa Nabi di
Ramadhan”.
Faedah
:
Sebagian manusia mengira bahwa berbuka pada hari-hari
ketika bepergian tidak diperbolehkan, sehingga mereka mencela orang yang
mengambil rukhsah (keringanan untuk berbuka dari Allah سبحانه و تعالي tersebut) atau menganggap puasa
lebih utama karena mudahnya transportasi dan terpenuhi sarana-sarananya. Kami
ingatkan bagi mereka akan firman Allah سبحانه و تعالي yang Maha Mengetahui baik yang ghaib ataupun terang (jelas).
وَمَا كاَنَ رَبُّكَ نَسِيَّا
“Dan tidaklah Tuhan mu lupa. (QS. Maryam : 64)”.
Dan
firman-Nya :
وَاللهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لاَ
تَعْلَمُوْنَ
“Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah : 232)”.
Dan firman Allah سبحانه و تعالي dipertengahan ayat yang menyebutkan keringanan berbuka dalam
bepergian. Firman Allah سبحانه و تعالي :
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ
يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. (QS. Al
Baqarah : 185).
Artinya : Sesungguhnya kemudahan dan keringanan bagi
musafir satu perkara yang diinginkan oleh Allah سبحانه و تعالي , dan hal itu termasuk dari tujuan syariat yang memberikan
kelapangan, terlebih lagi yang membuat syariat agama adalah pencipta zaman,
tempat dan manusia. Dia-lah Allah سبحانه و تعالي Dzat yang lebih tahu kebutuhan manusia dan yang terbaik bagi
mereka. Allah سبحانه و تعالي berfirman :
أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ
اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang
kamu lahirkan dan laksanakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Mulk : 14)”.
Kita menulis hal ini agar setiap
orang muslim tahu bahwa apabila Allah سبحانه و تعالي dan Rasul-Nya mewajibkan suatu perkara, tidak ada pilihan bagi
mereka dari perintah-Nya, namun seorang muslim akan melaksanakan bersama
hamba-hamba Allah سبحانه و تعالي yang beriman dan berendah diri,
yang mana mereka tidak mendahulukan selain perintah-perintah Allah سبحانه و تعالي dan Rasul-Nya (kami dengar dan taat, ampunilah kami ya Allah,
kepada-Mu-lah kami kembali)..[]
0 komentar:
Posting Komentar