Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar
Studi tasawuf dan filsafat sangat akrab
dengan metode hermeneutika. Studi ilmu tasawuf sangat menekankan makna
esoterik/batin sebuah teks suci dan filsafat sangat menekankan aspek filosofi
dan tujuan kemanusiaan pada teks.
Untuk sampai kepada tujuannya, kedua
disiplin ilmu ini merasa tidak cukup terwadahi dengan warisan metodologi
konvensional studi Islam. Akhirnya, sadar atau tidak sadar, kedua disiplin
kajian kelilmuan ini berada dalam alur metodologi yang sama; hermeneutika.
Hermeneutika sebenarnya bukan sesuatu yang
serba baru samasekali. Hermeneutika adalah nama baru untuk sebuah masalah lama,
yakni penafsiran teks suci. Kalangan sufi menganggap seluruh alam termasuk diri
manusia adalah sebuah teks suci yang harus dibaca dan dimaknai. Kalangan filsuf
menyebut teks itu adalah pemikiran atau jenis filosofi apa saja. Dalam
ilmu-ilmu sosial dan humaniora, teksnya adalah kenyataan sosial itu sendiri.
Hakikat kenyataan ini (kauniyat) adalah
penafsiran itu sendiri. Manusia ada dan disebut manusia karena ia berpikir
(bukan berakal saja). Apa saja yang dipikirkan selalu berarti memikirkan untuk
mengetahui, memahami, dan mengerti teks: artinya menafsirkannya. Karena, tidak
seorang pun mengklaim sampai pada hakikat kenyataan. Kita hanya bisa menemukan
suatu pengetahuan yang relatif bertahan (validity) dan kuat bertahan
(releability) dari kelemahan-kelemahan pemahaman.
Hermeneutika dan penafsiran mempunyai
wilayah persentuhan tetapi keduanya tidak identik. Penafsiran teks adalah
kegiatan berpikir, praktik penafsiran, usaha memahami. Untuk berpikir orang
bisa tidak bermetode, tapi berpikir yang baik adalah berpikir dengan metode.
Jika diputuskan untuk menggunakan metode dalam menafsirkan atau memikirkan
teks, maka di situlah hermeneutika berperan. Jadi, hermeneutika adalah metode
atau teori penafsiran.
Hermeneutika tidak melulu berarti metode.
Istilah teori di sini merujuk pada istilah Kunstlehre, menurut Schleiermacher.
Menurutnya, teori (Kunstlehre) berarti metode dan filsafat. Sebab, metode
adalah teknik-teknik menafsirkan secara benar. Sebagai filsafat, hermeneutika
berarti segala macam usaha manusia memahami apa yang terjadi ketika manusia
menafsirkan teks dan apa yang terjadi ketika metode-metode interpretasi
tertentu dirumuskan atau digunakan dalam penafsiran.
Oleh karena itu, dalam berbagai literatur
hermeneutika modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan
yang rasional, dan penerjemahan bahasa sebagaimana dijelaskan di atas, pada
dasarnya lebih dekat dengan pengertian exegesis daripada hermeneutika.
Hal ini karena eksegesis berkaitan dengan
kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori
penafsiran yang lazim dalam hermeneutika. Jika eksegesis merupakan komentar
aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai
aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan
ber-exegese.
Hermeneutika itu ada sejak agama lahir, bahkan sejak manusia muncul
sebagai makhluk berkebudayaan. Setiap agama lahir dengan teksnya masing-masing,
Islam dengan risalah Muhammad berupa Alquran dan sunah.
Teks Alquran dan sunah itu ditafsirkan oleh Nabi dan sahabat dari
bahasa Tuhan, sekalipun tidak dengan metode yang sangat rigid. Karena masa Nabi
dan sahabat, kata Muhammad Ata As-Sid, adalah masa penerimaan teologis terhadap
teks Alquran.
Iman adalah segala-galanya, dan pemahaman terhadap Alquran adalah
hal yang gampang. Jika ada kerancuan pemahaman, para sahabat bertanya ke Nabi,
sementara Nabi bisa bertanya ke Tuhan. Lagi pula sahabat sangat memahami
situasi Makkah dan Arab masa itu, plus persahabatan dengan Nabi (shuhbah) dan
kemahiran mereka dalam bahasa Arab.
Hermeneutika sebagai metode dalam Islam muncul ketika wilayah
politik Islam meluas dan dibutuhkan penafsiran terutama hukum terhadap
teks-teks agama. Di sinilah mereka mulai berpikir metode. Awalnya, sekedar
metode sastra, kemudian meluas menjadi metode hukum melalui perumusan
jenis-jenis ungkapan dalam Alquran dan pembagian-pembagian pengambilan hukum
(istinbath) oleh Imam Asy-Syafi’î.
Itu fase awal ketakutan kehilangan cara menafsirkan teks sehingga
pemikir awal merumuskan hermeneutika “sederhana” untuk mencegah berhentinya
orang menafsirkan Alquran. Tapi sejarah berulang, lama setelah itu,
disiplin-disiplin keislaman—terutama usul fiqh, fiqh, tafsir, dan ulûm
Alquran—mandeg setelah semakin canggih, di satu sisi dan banyaknya pertentangan
politik, di sisi lain.
Epistemologi tradisional pemikiran Islam di kemudian hari lebih
banyak beralih kepada tradisi skolastik Abad Pertengahan hingga munculnya
kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai oleh perjumpaan kaum
Muslim dengan kolonialisme.
Selama berabad-abad lamanya tidak pernah muncul pemikiran Islam
yang sama sekali baru, kecuali sekedar pengulang-ulangan yang bersifat
tautologis, di mana umat Islam dan tradisi hermeneutika Alqurannya tinggal
mewarisi trilogi ortodoksi: paradigma Asy-Syafi’i, otoritas Al-Asy‘ari, dan
ekletisisme Al-Gazhali.
Fase kedua hermeneutika Alquran terjadi pada masa modern ini.
Menurut Andrew Rippin, kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan
menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Alquran dengan bantuan
kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrumen
metodologis tersebut, penafsiran Alquran diharapkan mampu merasionalkan doktrin
yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada Alquran. Dan pada saat yang sama,
mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran
Alquran.
Wahidur Rahman antara lain menyebut pemikir-pemikir modernis,
seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh, telah mengusahakan agar Alquran
berbicara tentang realitas.
Hanya saja apa yang mereka lakukan tidak lebih dari jawaban instan
terhadap “kebutuhan-kebutuhan aktual masyarakat Muslim dalam rangka memelihara
(solidaritas) mereka, atau pada saat mereka menganggap Islam membutuhkan
pertahanan dari serangan (luar)”. Konsekuensinya, pemikiran yang mereka ajukan
lebih cenderung bersifat apologetis karena tidak berangkat dari dasar-dasar
metodologis yang adekuat untuk disebut sebagai sebuah hermeneutika.
Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah ke dalam wacana
penafsiran Alquran bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa
keberatan menyangkut dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Alquran,
seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur Rahman.
Tidak aneh jika muncul tuduhan bahwa mayoritas modernis Muslim
menafsirkan Alquran bukan demi memahami dan menyingkap makna sejati, tapi untuk
mengejar tujuan-tujuan ekstra Qurani yang antara lain demi menghilangkan
kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat.
Persoalan semacam ini bagaimanapun, merupakan dilema intelektual
tersendiri yang harus dipecahkan oleh para pemikir Muslim. Di satu sisi, mereka
berkewajiban menafsirkan Alquran sesuai dengan tuntutan ilmiah dan obyektif,
sementara pada sisi lain, terdapat kepentingan moral untuk menjelaskan Alquran
sejalan dengan kebutuhan umat Islam saat ini. Dua sisi tersebut memang tidak
serta-merta kontradiktif dan saling menafikan, melainkan bagaikan dua sisi mata
uang yang saling melengkapi.
Kesadaran akan hadirnya realitas kekinian dan pemenuhan standar
ilmiah dalam kegiatan penafsiran Al-Quran pada saat yang bersamaan akhirnya
dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh pemikir Muslim
kontemporer, seperti Arkoun, Fazlur Rahman, Farid Esack, Hassan Hanafi, Amina
Wadud-Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan belakangan oleh Abû Zayd. Minat para
penulis tersebut dapat dianggap mewakili arus ketidakpuasan terhadap
hermenutika tradisional Al-Quran yang bagaimanapun cenderung ahistoris dan
tidak kontekstual lagi.
Dalam studi tasawuf ke dalam, pendekatan hermeneutika terungkap
terutama setelah karya-karya Ibnu Arabi mendapatkan perhatian khusus oleh
ilmuwan barat, semisal Henry Corbin, William C Chittick, dan James Winston Morris.
Kehadiran sufi terkemuka Ibnu Arabi dalam berbagai karyanya
menunjukkan kepada kita bagaimana kedalaman dan keterampilannya memahami
teks-teks suci dengan menggunakan pendekatan mirip hermeneutika. Para ilmuwan
tersebut tidak bisa menyembuyikan ketakjubannya terhadap Ibnu Arabi dan
sejumlah sufi lainnya. Sachiko Murata dan SH Nasr juga banyak sekali mengungkap
karya-karya hermeunitis sejumlah sufi Muslim yang seolah-olah menyimpulkan
bahwa tasawuf adalah aktualisasi kebenaran sejati dari kitab suci.
Artikulasi pemahaman kitab suci melalui pendekatan hermeneutika
semakin mendapatkan tempat dari kalangan ilmuwan tasawuf. Terakhir ada
kecenderungan yang perlu dicermati dengan penggunaan metode ini ialah adanya
kedekatan dengan karya-karya spiritual-tasawuf dari agama lain.
Kini bermunculan karya-karya yang sengaja atau tidak sengaja, ingin
mendekatkan antara mistisisme Islam (tasawuf) dengan mistisisme Yahudi
(kabbalah), dan mistisisme kepercayaan lain seperti Hindu, Buddha, Konghucu,
dan Taoisme. Hal ini dapat dilihat dari praktik meditasi yang menggunakan
sejumlah ajaran spiritual sebagai metode yang diterapkan dalam mencapai puncak
relaksasi.
Ada kecenderungan, generasi mencari aspek-aspek spiritual dari
ajaran agama dan menafikan aspek-aspek selainnya. Tentu saja hal ini menarik
untuk dicermati karena dalam Islam, tasawuf adalah kelanjutan dari anak tangga
yang ada di bawahnya berupa ajaran fikih, syariah, dan akhlak. Antara satu
dengan lainnya tidak bisa dipsisahkan. Man tashawwaf wa lam yatafaqqaha faqad
tafassak, wa man tafaqqaha wa lam yatashawwafa faqad tazandaq, wa man jama’a
baina huma faqad tahaqqaqah (Barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfikih maka ia
fasik. Barangsiapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia zindiq, dan
barangsiapa yang menggabungkan keduanya maka ia mencapai puncak kebenaran).
0 komentar:
Posting Komentar