Ditinjau dari segi fungsinya, sunnah
mempunyai hubungan yang sangat kuat dan erat sekali dengan al-Qur’an. Sunnah
al-Nabawiyah mempunyaifungsi sebagai sebagai penafsir al-Qur’an dan menjelaskan
kehendak-kehendak Allah swt. Dalam perintah dan hukum-hukum-Nya. Dan dika
ditinjau dari segi dilalah-nya (indeksial)nya terhadap hukum-hukum yang
dikandunng al-Qur’an, baik secara global maupun rinci, status sunnah dapat
diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu :
1. Sebagai
pengukuh (ta’kid) terhadap ayat-ayat al-Qur’an
Sunnah dikaitkan
sebagai pengukuh ayat-ayat al-Qur’an apabila makna yang terkandung di dalamnya
cocok dengan dengan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Nabi
saw. bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يُمْلِي
لِلظَّالِمِ، فَإِذَا أَخَذَهُ، لَمْ يُفْلِتْهُ [1]
“Sesungguhnya Allah swt.
memanjangkan kesempatan kepada orang-orang zalim, apabila Allah menghukumnya
maka Allah tidak akan melepaskannya.”
Hadis\ tersebut cocok dengan firman
Allah swt. :
وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ
الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ [2]
“dan
Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang
berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.”
Hadis yang berfungsi sebagai
pengukuh (penta’kid) ayat-ayat al-Qur’an jumlahnya banyak sekali, sperti
hadis-hadis yang menunjukkan atas wajibnya shalat, zakat, haji, amal, berbuat
baik, member maaf, dan sebagainya.
2.
Sebagai penjelas terhadap maksud
ayat-ayat al-Qur’an
Hadi>s\
dalam fungsi ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
a.
Menjelaskan ayat-ayat mujmal
Hadi>s\ dalam
fungsi ini diantaranya ialah hadi>s\ yang menjelaskan sesuatu yang
berhubungan dengan ibadah dan hukum-hukumnya, dari segi praktiknya, syarat,
waktu, dan tatacaranya, seperti masalah s}alat dimana di dalam al-Qur’an tidak
disebutkan secara rinci tentang bilangan rakaat, waktu, rukun, syarat, dan
sebagainya. Tetapi semua itu dijelaskan oleh sunnah.
b. Membatasi
lafaz} yang masih muthlaq dari ayat-ayat al-Qur’an
Hadi>s\ yang
membatasi kemut}lakan lafaz} dari ayat al-Qur’an ini ialah seperti hadis-hadis
yang menjelaskan tentang lafaz} al-Yad (tangan) yang terdapat dalam ayat
al-Qur’an :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Bahwa
yang dimaksud memotong tangan dalam ayat tersebut adalah tangan kanan dan
pemotongannya adalah sampai pergelangan tangan, tidak sampai siku.
c. Mengkhususkan
ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum
Hadis
dalam kategori ini ialah seperti hadis yang mengkhususkan makna zalim dalam
firman Allah swt. :
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ [3]
“
orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Bahwa
yang dimaksud zalim pada ayat tersebut adalah menyekutukan Allah. Peristiwanya
ialah sewaktu ayat tersebut turun, sebagian sahabat mengira bahwa yang dimaksud
zalim pada ayat tersebut ialah zalim dalam arti umum, sehingga dia berucap, “Siapakah
diantara kita yang tidak pernah berbuat zalim?” kemudian Nabi saw. menjawab, “Bukan itu
yang dimaksud, tetapi yang dimaksud zalim pada ayat itu ialah menyekutukan
Tuhan (syirik).”
d.
Menjelaskan
makna lafaz yang masih kabur
Diantaranya ialah seperti hadis yang menjelaskan makna
dua lafaz “al-Khaithu” dalam
firman Allah swt. :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ
لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ
لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf[4]
dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa."
Peristiwanya
ialah sebagian sahabat ada yang mengira bahwa yang dimaksud dengan benang dalam
ayat itu ialah tali yang berwarna hitam dan putih. Kemudian Nabi saw. bersabda,
bahwa yang dimaksud ialah terangnya siang dan gelapnya malam.
3.
Menetapkan
hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an
Contoh
sunnah semacam ini banyak sekali, seperti hadis-hadis yang menetapkan hukum
haram mengawini (poligami) seorang perempuan beserta bibinya, riba fadhl, dan
makandaging himar piaraan.
4.
Mengahpus
ketentuan hukum dalam al-Qur’an
Sebagian
ulama ada yang membolehkan sunnah menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an,
diantaranya ialah seperti hadis :
أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا
ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ الأَحْوَلِ، عَنْ مُجَاهِدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»
“dari syafi’i
ra. Ia mengkahabarkan kepada kami, ia berkata : telah dikhabarkan kepada kami ‘uyainah
dari sulaiman al-Ahwali dari mujahid ia berkata : bahwa rasulullah saw. Bersabda
: ‘tidak boleh berwasiat (memberikan harta peninggalan) kepada ahli waris’.”
Hadis tersebut menghapus ketentuan hukum dalam
al-Qur’an tentang diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua
orang tua, atau kerabat-kerabat waris lainnya, sebagaimana firman Allah swt. :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[5],
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
[1]sunan Ibnu majah, hadis ke
4018
[2]Q.S Hu>d
[3]Q.S al-an’am :82
[4]I'tikaf ialah berada dalam
mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
[5]Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat
itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.
ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
0 komentar:
Posting Komentar