Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Salawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Berikut adalah panduan ringkas dalam
salat ‘Id, baik salat ‘Idul Fitri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari
beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.
A. Hukum
Salat ‘Id
Menurut pendapat yang lebih kuat,
hukum salat ‘id adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun
perempuan yang dalam keadaan mukim.[1]
Dalil dari hal ini adalah hadis dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
حَدَّثَنِي
أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ،
عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، قَالَتْ: «أَمَرَنَا - تَعْنِي النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ،
وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى
الْمُسْلِمِينَ»
”Telah menceritakan kepada kami Abū Rabī' al-Zahrānī,
telah menceritakan kepada kami Hammād, telah menceritakan kepada kami Ayyūb,
dari Muhammad dari Ummu 'Athiyah ia berkata: Nabi saw. memerintahkan kepada
kami pada saat salat ‘Id (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para
gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita
yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haid untuk
menjauhi tempat salat.“[2]
Di antara alasan wajibnya salat ‘Id
dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid al-Syaukani).[3]
Pertama: Rasulullah saw. terus
menerus melakukannya.
Kedua: Nabi saw. memerintah kaum
muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan salat ‘Id. Perintah untuk keluar
rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan salat ‘Id itu sendiri bagi orang
yang tidak punya uzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan
wasilah (jalan) menuju salat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya
(yaitu salat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam al-Qur’an
yang menunjukkan wajibnya salat ‘Id yaitu firman Allah Ta’ala pada QS. al-Kaūtsar/108:
2 yang berbunyi :
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah salat dan berqurbanlah
(al-Nahr).” Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan salat ‘Id.
Keempat: Salat jumat menjadi gugur
bagi orang yang telah melaksanakan salat ‘Id jika kedua salat tersebut bertemu
pada hari ‘Id. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang
wajib pula. Jika salat jumat itu wajib, demikian halnya dengan salat ‘Id.
–Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Pendapat
yang menyatakan bahwa hukum salat ‘Id adalah wajib bagi setiap muslim lebih
kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardu kifayah (wajib bagi
sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum salat ‘Id
adalah sunah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena
Nabi saw. sendiri memerintahkan untuk melakukan salat ini. Lalu beliau sendiri dan
para khulafā al-rasyidīn (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali), begitu pula kaum
muslimin setelah mereka terus menerus melakukan salat ‘Id. Dan tidak dikenal
sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan salat ‘Id. Salat
‘Id adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi saw. tidak memberi
keringanan bagi wanita untuk meninggalkan salat ‘Id, lantas bagaimana lagi
dengan kaum pria?”[4]
B. Waktu
Pelaksanaan Salat ‘Id
Menurut mayoritas ulama–ulama
Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu salat ‘Id dimulai dari matahari
setinggi tombak[5]
sampai waktu zawāl (matahari bergeser ke barat).[6]
Ibn al-Qayyim mengatakan, “Nabi saw.
biasa mengakhirkan salat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan salat ‘Idul
Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi saw. tidaklah keluar
menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]
Tujuan mengapa salat ‘Idul Adha
dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih
qurbannya. Sedangkan salat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum
muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fitri.[8]
C. Tempat
Pelaksanaan Salat ‘Id
Tempat pelaksanaan salat ‘Id lebih
utama (lebih afdal) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada uzur seperti
hujan. Abū Sa’īd al-Khudrī mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى
الْمُصَلَّى
“Rasulullah saw. biasa keluar pada
hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“[9]
Al-Nawawi mengatakan, “Hadis Abū Sa’īd
al-Khudrī di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa salat ‘Id
sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdal (lebih utama) daripada
melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai
negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam salat ‘Id mereka selalu
dilakukan di Masjid al-Harām.”[10]
D. Tuntunan
Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Salat ‘Id
Pertama: Dianjurkan untuk mandi
sebelum berangkat salat. Ibn al-Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang sahih
yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi saw.
biasa mandi pada hari ‘Id sebelum berangkat salat.”[11]
Kedua: Berhias diri dan memakai
pakaian yang terbaik. Ibn al-Qayyim mengatakan, “Nabi saw. biasa keluar ketika salat
‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]
Ketiga: Makan sebelum keluar menuju salat
‘Id khusus untuk salat ‘Idul Fitri.
Dari ‘Abdullāh bin Buraīdah, dari
ayahnya, ia berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ
وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah saw. biasa berangkat salat
‘Id pada hari Idul Fitri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari
Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari salat ‘Id
baru beliau menyantap hasil kurbannya.”[13]
Hikmah dianjurkan makan sebelum
berangkat salat Idul Fitri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih
hari berpuasa. Sedangkan untuk salat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan
terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati
setelah salat ‘Id.[14]
Keempat: Bertakbir ketika keluar
hendak salat ‘Id. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ
المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi saw. biasa keluar hendak salat
pada hari raya ‘Idul Fitri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan
sampai salat hendak dilaksanakan. Ketika salat hendak dilaksanakan, beliau
berhenti dari bertakbir.”[15]
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
“Rasulullah saw. pernah berangkat salat ‘Id (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama
al-Fadhl bin ‘Abbās, ‘Abdullāh bin ’Abbās, ‘Ālī, Ja’fār, al-Hasan, al-Husaīn,
Usāmah bin Zaīd, Zaīd bin Hāritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat
suara membaca tahlil (lā ilāha illallāh) dan takbir (Allāhu Akbar).”[16]
E. Tata
cara takbir ketika berangkat salat ‘Id ke lapangan:
Disyari’atkan dilakukan oleh setiap
orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan
kesepakatan empat ulama madzhab.[17]
Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allāhu akbar, Allāhu akbar, lā ilāha
illallāh wallāhu akbar, Allāhu akbar wa lillāhil hamd (Allah Maha Besar, Allah
Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain
Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)”
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafal ini dinukil dari banyak
sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafal ini marfū’ yaitu sampai
pada Nabi saw.
Syaikhul Islam juga menerangkan
bahwa jika seseorang mengucapkan “Allāhu Akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar“,
itu juga diperbolehkan.
Kelima: Menyuruh wanita dan anak
kecil untuk berangkat salat ‘Id. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadis
Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan
adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai
harum-haruman.
Sedangkan dalil mengenai anak kecil,
Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil pernah ditanya, “Apakah engkau pernah
menghadiri salat ‘Id bersama Nabi saw.?” Ia menjawab,
نَعَمْ
، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
“Iya, aku menghadirinya. Seandainya
bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak
akan menghadirinya.”[18]
Keenam: Melewati jalan pergi dan
pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi saw. ketika salat ‘Id, beliau
lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“[19]
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki
sampai ke tempat salat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari
Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ
مَاشِيًا.
“Rasulullah saw. biasa berangkat salat
‘Id dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[20]
Tidak Ada Salat Sunah Qabliyah ‘Id
dan Ba’diyah ‘Id
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Rasulullah saw. pernah keluar pada
hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan salat ‘Id dua rakaat,
namun beliau tidak mengerjakan salat qabliyah maupun ba’diyah ‘Id.“[21]
Tidak Ada Adzan dan Ikamah Ketika Salat
‘Id
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata,
صَلَّيْتُ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ
بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah melaksanakan salat ‘Id
(Idul Fitri dan Idul Adha) bersama Rasulullah saw. bukan hanya sekali atau dua
kali, ketika itu tidak ada adzan maupun ikamah.”[22]
Ibn al-Qayyim mengatakan, “Jika Nabi
saw. sampai ke tempat salat, beliau pun mengerjakan salat ‘Id tanpa ada adzan
dan ikamah. Juga ketika itu untuk menyeru jemaah tidak ada ucapan “al-Shalāt
al-Jām’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam
tadi.”[23]
F. Tata
Cara Salat ‘Id
Jumlah rakaat salat Idul Fitri dan
Idul Adha adalah dua rakaat. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[24]
Pertama: Memulai dengan takbiratul
ihram, sebagaimana salat-salat lainnya.
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir
zawā’id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihram- sebelum
memulai membaca al-Fātihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir
tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibn al-Qayyim
mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi saw. biasa
mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”
Ketiga: Di antara takbir-takbir
(takbir zawā’id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada
sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir,
hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[25]
Syaikh al-Islām mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca
bacaan,
سُبْحَانَ
اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
“Subhānallāh wal hamdulillāh wa lā
ilāha illallāh wallāhu akbar. Allāhummaghfirlī warhamnī (Maha suci Allah,
segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain
Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi,
bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya
asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian membaca al-Fātihah,
dilanjutkan dengan membaca surah lainnya. Surah yang dibaca oleh Nabi saw.
adalah surah Qāf pada rakaat pertama dan surah Al Qomar pada rakaat kedua. Ada
riwayat bahwa ‘Umar bin Khattāb pernah menanyakan pada Waqīd al-Laitsīy
mengenai surah apa yang dibaca oleh Rasulullah saw. ketika salat ‘Id Adha dan
‘Idul Fitri. Ia pun menjawab,
كَانَ
يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ
الْقَمَرُ(
“Nabi saw. biasa membaca “Qaaf, wa
al-Qur’ān al-majīd” (surah Qāf) dan “Iqtarabat al-sā’ah wansyaqqal qamar”
(surah al-Qomar).”[26]
Boleh juga membaca surah al-A’lā
pada rakaat pertama dan surah al-Ghāsiyah pada rakaat kedua. Dan jika hari ‘Id
jatuh pada hari Jumat, dianjurkan pula membaca surah al-A’lā pada rakaat
pertama dan surah Al-Ghāsyiyah pada rakaat kedua, pada salat ‘Id maupun salat Jumat.
Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi saw. bersabda,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ
بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ
وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا
فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah saw. biasa membaca dalam salat
‘Id maupun salat Jumat “Sabbihisma rabbika al-a’la” (surah al-a’lā) dan “Hal
atāka hadīsul ghasyiyah” (surah al-Ghasyiyah).” Al-Nu’mān bin Basyīr mengatakan
begitu pula ketika hari ‘Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua
surah tersebut di masing-masing salat.[27]
Kelima: Setelah membaca surah,
kemudian melakukan gerakan salat seperti biasa (rukuk, i’tidal, sujud, dst).
Keenam: Bertakbir ketika bangkit
untuk mengerjakan rakaat kedua.
Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir
zawāid/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud-
sebelum memulai membaca al-Fātihah.
Kedelapan: Kemudian membaca surah al-Fātihah
dan surah lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Kesembilan: Mengerjakan gerakan
lainnya hingga salam.
G. Khutbah
Setelah Salat ‘Id
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما
– يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi saw. dan Abu Bakr, begitu pula
‘Umar biasa melaksanakan salat ‘Id sebelum khutbah.”[28]
Setelah melaksanakan salat ‘Id, imam
berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘Id dengan sekali khutbah (bukan dua kali
seperti khutbah Jumat).[29]
Nabi saw. melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[30]
Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillāh) sebagaimana
khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibn al-Qayyim mengatakan, “Dan tidak
diketahui dalam satu hadis pun yang menyebutkan bahwa Nabi saw. membuka khutbah
‘Idnya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di
tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau
selalu memulai khutbah ‘Idnya dengan bacaan takbir.”
Jama’ah boleh memilih mengikuti
khutbah ‘Id ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin al-Sā’ib, ia berkata bahwa ia
pernah menghadiri salat ‘Id bersama Rasulullah saw., tatkala beliau selesai
menunaikan salat, beliau bersabda,
إِنَّا
نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa
yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silahkan ia duduk. Siapa yang
ingin pergi, silahkan ia pergi.”[31]
H. Ucapan
Selamat Hari Raya
Syaikh al-Islām Ibn Taīmiyah
menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘Id seperti
sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah salat ‘Id,
“Taqobbalallāh minnā wa minkum wa ahallallāhu ‘alaīka” dan semacamnya, maka
seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa
mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam
melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad
mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada
seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan
membalasnya“. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat
adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang
dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam
ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki
qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah
(contoh).”
I. Bila
Hari ‘Id Jatuh pada Hari Jumat
Bila hari ‘Id jatuh pada hari Jumat,
maka bagi orang yang telah melaksanakan salat ‘Id, ia punya pilihan untuk
menghadiri salat Jumat atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap
melaksanakan salat Jumat agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan salat
Jumat bisa hadir, begitu pula orang yang tidak salat ‘Id bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat
riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibn al-Zubaīr.
Dalil dari hal ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin
Abī Rāmlah al-Syāmī, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan
dan ia bertanya pada Zaid bin Arqām,
أَشَهِدْتَ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ
نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ
فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ.
“Apakah engkau pernah menyaksikan
Rasulullah saw. bertemu dengan dua ‘Id (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu
dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah
bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan salat
‘Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan salat Jumat”, jawab Zaid lagi.
Nabi saw. bersabda, “Siapa yang mau salat Jumat, maka silakan melaksanakannya.”[32]
Kedua: Dari ‘Athā’, ia berkata, “Ibn
al-Zubaīr ketika hari ‘Id yang jatuh pada hari Jumat pernah salat ‘Id bersama
kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu salat Jumat Ibnu al-Zubaīr tidak
keluar, beliau hanya salat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif.
Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu al- Zubair pada
Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan
sunah (ajaran Nabi) [ashhāb al-sunnah].”[33]
Jika sahabat mengatakan ashhābas sunnah (menjalankan sunah), itu berarti
statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[34]
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin al-Khattāb
melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibn al-Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar
tidak menyalahkan perbuatan Ibn al-Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Thālib
pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan salat ‘Id maka ia boleh
tidak menunaikan salat Jumat. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain
yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[35]
Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar
tetap mendirikan salat Jumat supaya orang yang ingin menghadiri salat Jumat
atau yang tidak salat ‘Id bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari
al-Nu’mān bin Basyīr, ia berkata, “Rasulullah saw. biasa membaca dalam salat ‘Id
dan salat Jumat “sabbihisma rabbika al-a’lā” dan “hal atāka hadīs al-ghāsyiyah”.”
Al-Nu’mān bin Basyīr mengatakan begitu pula ketika hari ‘Id bertepatan dengan
hari Jumat, beliau membaca kedua surah tersebut di masing-masing salat.[36]
Karena imam dianjurkan membaca dua surah tersebut pada salat Jumat yang
bertepatan dengan hari ‘Id, ini menunjukkan bahwa salat Jumat dianjurkan untuk
dilaksanakan oleh imam masjid.
Siapa saja yang tidak menghadiri salat
Jumat dan telah menghadiri salat ‘Id –baik pria maupun wanita- maka wajib
baginya untuk mengerjakan salat Zuhur (4 rakaat) sebagai ganti karena tidak
menghadiri salat Jumat.[37]
Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan salat Idul Fitri dan Idul
Adha. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan
nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Disadur dari www.muslim.or.id
[1]Lihat
Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul, Bughyah al-Mutathowwi’ fī Sholāh
al-Tathowwu’, (cet. Pertama; Dār al-Imām Ahmad, 1427 H.) hal. 109-110.
[2]HR.
Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3]Kami
sarikan dari al-Raūdhah al-Nadiyah Syarh al-Durar al-Bahiyyah, Jilid I, (Cet.
Pertama; Dār al-‘Aqīdah, 1422 H), h. 202.
[4]Majmū’
al-Fatāwā, Ibnu Taimiyah, jilid 24 (cet. Ketiga; Dār al-Wafā’, 1426 H.), h.
183.
[5]Yang
dimaksud, kira-kira 20 menit setelah matahari terbit sebagaimana keterangan
Syaīkh Muhammad bin Shālīh al-‘Utsaīmin dalam Syarh Hadīs al-Arba’īn
al-Nawawīyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas hadis no. 26.
[6]Lihat Shahīh Fiqh Sunnah,
jilid 1, h. 599 dan al-Raūdhah al-Nadiyah, Jilid 1, h. 206-207.
[7]Ibn al-Qayyim al-Jaūziyah, Zād
al-Ma’ād fī Hadyi Khaīr al-‘Ibād, jilid 1, (Cet. Ke-14; Muassasah
al-Risālah, 1407 H), h. 425. [Tahqīq: Syu'aīb al-Arnaūth dan 'Abdul Qādir
al-Arnaūth]
[8]Lihat Abu Bakr Jabir al-Jazā’ir, Minhājul
Muslim, (cet. Keempat; Dār al-Salām) h. 201.
[9]HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no.
889.
[10]Al-Nawawī, Syarh Muslim,
jilid 3, (Maūqi’ al-Islām) h. 280.
[11]Ibn al-Qayyim al-Jaūziyah, Zād
al-Ma’ād fī Hadyi Khaīr al-‘Ibād, jilid 1, h. 425.
[12]Ibn al-Qayyim al-Jaūziyah, Zād
al-Ma’ād fī Hadyi Khaīr al-‘Ibād, jilid 1, h. 425.
[13]HR. Ahmad, jilid 5, h. 352. Syaikh
Syu’aīb al-Arnaūth mengatakan bahwa hadis ini hasan.
[14]Lihat Shahih Fiqh Sunnah, jilid 1,
h. 602.
[15]Dikeluarkan dalam al-Silsilah
al-Shahīhah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini sahih.
[16]Dikeluarkan oleh al-Baihaqī, jilid
3, h. 279. Hadis ini hasan. Lihat al-Irwa’, jilid 3, h. 123.
[17]Lihat Ibnu Taimiyah, Majmū’
al-Fatāwā, jilid 24, (cet. Ketiga; Dār al-Wafā’, 1426 H.), h. 220.
[18]HR. Bukhārī no. 977.
[19]HR. Bukhari no. 986.
[20]HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh
al-Albāni mengatakan bahwa hadis ini hasan.
[21]HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no.
884.
[22]HR. Muslim no. 887.
[23]Ibn al-Qayyim al-Jaūziyah, Zād
al-Ma’ād fī Hadyi Khaīr al-‘Ibād, jilid 1, h. 425.
[24]Kami sarikan dari Shahih Fiqh
Sunnah, jilid 1, h. 607.
[25]Dikeluarkan oleh al-Baihāqī, jilid
3, h.291. Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abd al-Hamīd mengatakan bahwa sanad hadis ini
qawīy (kuat). Lihat Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al‘Īdaīn,
hal. 21, al-Maktabah al-Islāmīy, cet. pertama, tahun 1405 H.
[26]HR. Muslim no. 891.
[27]HR.
Muslim no. 878.
[28]HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no.
888.
[29]Lihat Shahih Fiqh Sunnah, jilid 1,
h. 607.
[30]Lihat keterangan dari Ibn al-Qayyim
dalam Zād al-Ma’ād, jilid 1, h. 425. Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari
masjid ketika salat ‘Id adalah Marwan bin al-Hakam.
[31]HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah
no. 1290. Syaikh al-Albāni mengatakan bahwa hadis ini sahih.
[32]HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah
no. 1310. Al-Syaūkāni dalam al-Saīl al-Jarār jilid 1, h. 304 mengatakan bahwa
hadis ini memiliki syahid (riwayat penguat). Al-Nawawi dalam al-Majmū’ jilid 4,
h. 492 mengatakan bahwa sanad hadis ini jayyid (antara sahih dan hasan). ‘Abd
al-Haq al-Syubaīli dalam al-Ahkām al-Shugrā mengatakan bahwa sanad hadis ini
sahih. ‘Ali al-Madīni dalam al-Istidzkār jilid2, h.373 mengatakan bahwa sanad
hadis ini jayyid (antara shahih dan hasan). Syaikh al-Albāni dalam al-Ajwibah
al-Nāfi’ah mengatakan bahwa hadis ini sahih. Intinya, hadis ini bisa digunakan
sebagai hujah atau dalil.
[33]HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh
al-Albāni mengatakan bahwa hadis ini sahih.
[34]Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
jilid 1, h. 596.
[35]Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
Syaikh Abū Mālik, jilid 1, h. 596, al-Maktabah al-Taūfīqiyah.
[36]HR. Muslim no. 878.
[37]Lihat Fatwa al-Lajnah al-Dā’imah
li al-Buhūts ‘Ilmiyah wa al-Iftā’, juz 8, h. 182-183, pertanyaan kelima
dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.
0 komentar:
Posting Komentar