Senin, 06 Oktober 2014

Panduan Salat Idul Fitri dan Idul Adha



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Salawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Berikut adalah panduan ringkas dalam salat ‘Id, baik salat ‘Idul Fitri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.
A.    Hukum Salat ‘Id
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum salat ‘id adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim.[1] Dalil dari hal ini adalah hadis dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
حَدَّثَنِي أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، قَالَتْ: «أَمَرَنَا - تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ»
 ”Telah menceritakan kepada kami Abū Rabī' al-Zahrānī, telah menceritakan kepada kami Hammād, telah menceritakan kepada kami Ayyūb, dari Muhammad dari Ummu 'Athiyah ia berkata: Nabi saw. memerintahkan kepada kami pada saat salat ‘Id (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat salat.“[2]

Di antara alasan wajibnya salat ‘Id dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid al-Syaukani).[3]
Pertama: Rasulullah saw. terus menerus melakukannya.
Kedua: Nabi saw. memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan salat ‘Id. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan salat ‘Id itu sendiri bagi orang yang tidak punya uzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju salat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu salat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya salat ‘Id yaitu firman Allah Ta’ala pada QS. al-Kaūtsar/108: 2 yang berbunyi :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Dirikanlah salat dan berqurbanlah (al-Nahr).” Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan salat ‘Id.
Keempat: Salat jumat menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan salat ‘Id jika kedua salat tersebut bertemu pada hari ‘Id. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika salat jumat itu wajib, demikian halnya dengan salat ‘Id. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum salat ‘Id adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum salat ‘Id adalah sunah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi saw. sendiri memerintahkan untuk melakukan salat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafā al-rasyidīn (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan salat ‘Id. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan salat ‘Id. Salat ‘Id adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi saw. tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan salat ‘Id, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]
B.     Waktu Pelaksanaan Salat ‘Id
Menurut mayoritas ulama–ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu salat ‘Id dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawāl (matahari bergeser ke barat).[6]
Ibn al-Qayyim mengatakan, “Nabi saw. biasa mengakhirkan salat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan salat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi saw. tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]
Tujuan mengapa salat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan salat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fitri.[8]
C.    Tempat Pelaksanaan Salat ‘Id
Tempat pelaksanaan salat ‘Id lebih utama (lebih afdal) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada uzur seperti hujan. Abū Sa’īd al-Khudrī mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
Rasulullah saw. biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“[9]
Al-Nawawi mengatakan, “Hadis Abū Sa’īd al-Khudrī di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa salat ‘Id sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdal (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam salat ‘Id mereka selalu dilakukan di Masjid al-Harām.”[10]
D.    Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Salat ‘Id
Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat salat. Ibn al-Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi saw. biasa mandi pada hari ‘Id sebelum berangkat salat.”[11]
Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibn al-Qayyim mengatakan, “Nabi saw. biasa keluar ketika salat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]
Ketiga: Makan sebelum keluar menuju salat ‘Id khusus untuk salat ‘Idul Fitri.
Dari ‘Abdullāh bin Buraīdah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
Rasulullah saw. biasa berangkat salat ‘Id pada hari Idul Fitri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari salat ‘Id baru beliau menyantap hasil kurbannya.”[13]
Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat salat Idul Fitri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk salat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah salat ‘Id.[14]
Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak salat ‘Id. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
Nabi saw. biasa keluar hendak salat pada hari raya ‘Idul Fitri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai salat hendak dilaksanakan. Ketika salat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah saw. pernah berangkat salat ‘Id (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama al-Fadhl bin ‘Abbās, ‘Abdullāh bin ’Abbās, ‘Ālī, Ja’fār, al-Hasan, al-Husaīn, Usāmah bin Zaīd, Zaīd bin Hāritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (lā ilāha illallāh) dan takbir (Allāhu Akbar).”[16]
E.     Tata cara takbir ketika berangkat salat ‘Id ke lapangan:
Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17] Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Allāhu akbar, Allāhu akbar, lā ilāha illallāh wallāhu akbar, Allāhu akbar wa lillāhil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafal ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafal ini marfū’ yaitu sampai pada Nabi saw.
Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allāhu Akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar“, itu juga diperbolehkan.
Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat salat ‘Id. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadis Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil  pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri salat ‘Id bersama Nabi saw.?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[18]
Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Nabi saw. ketika salat ‘Id, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“[19]
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat salat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
Rasulullah saw. biasa berangkat salat ‘Id dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[20]
Tidak Ada Salat Sunah Qabliyah ‘Id dan Ba’diyah ‘Id
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
Rasulullah saw. pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan salat ‘Id dua rakaat, namun beliau tidak mengerjakan salat qabliyah maupun ba’diyah ‘Id.“[21]
Tidak Ada Adzan dan Ikamah Ketika Salat ‘Id
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
Aku pernah melaksanakan salat ‘Id (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama Rasulullah saw. bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun ikamah.”[22]
Ibn al-Qayyim mengatakan, “Jika Nabi saw. sampai ke tempat salat, beliau pun mengerjakan salat ‘Id tanpa ada adzan dan ikamah. Juga ketika itu untuk menyeru jemaah tidak ada ucapan “al-Shalāt al-Jām’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[23]
F.      Tata Cara Salat ‘Id
Jumlah rakaat salat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua rakaat. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[24]
Pertama: Memulai dengan takbiratul ihram, sebagaimana salat-salat lainnya.
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawā’id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihram- sebelum memulai membaca al-Fātihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibn al-Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi saw. biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawā’id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[25] Syaikh al-Islām mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
Subhānallāh wal hamdulillāh wa lā ilāha illallāh wallāhu akbar. Allāhummaghfirlī warhamnī (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian membaca al-Fātihah, dilanjutkan dengan membaca surah lainnya. Surah yang dibaca oleh Nabi saw. adalah surah Qāf pada rakaat pertama dan surah Al Qomar pada rakaat kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Khattāb pernah menanyakan pada Waqīd al-Laitsīy mengenai surah apa yang dibaca oleh Rasulullah saw. ketika salat ‘Id Adha dan ‘Idul Fitri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ(
Nabi saw. biasa membaca “Qaaf, wa al-Qur’ān al-majīd” (surah Qāf) dan “Iqtarabat al-sā’ah wansyaqqal qamar” (surah al-Qomar).”[26]
Boleh juga membaca surah al-A’lā pada rakaat pertama dan surah al-Ghāsiyah pada rakaat kedua. Dan jika hari ‘Id jatuh pada hari Jumat, dianjurkan pula membaca surah al-A’lā pada rakaat pertama dan surah Al-Ghāsyiyah pada rakaat kedua, pada salat ‘Id maupun salat Jumat. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi saw. bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
Rasulullah saw. biasa membaca dalam salat ‘Id maupun salat Jumat “Sabbihisma rabbika al-a’la” (surah al-a’lā) dan “Hal atāka hadīsul ghasyiyah” (surah al-Ghasyiyah).” Al-Nu’mān bin Basyīr mengatakan begitu pula ketika hari ‘Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surah tersebut di masing-masing salat.[27]
Kelima: Setelah membaca surah, kemudian melakukan gerakan salat seperti biasa (rukuk, i’tidal, sujud, dst).
Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan rakaat kedua.
Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawāid/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca al-Fātihah.
Kedelapan: Kemudian membaca surah al-Fātihah dan surah lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
G.    Khutbah Setelah Salat ‘Id
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
Nabi saw. dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan salat ‘Id sebelum khutbah.”[28]
Setelah melaksanakan salat ‘Id, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘Id dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jumat).[29] Nabi saw. melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[30] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillāh) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibn al-Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadis pun yang menyebutkan bahwa Nabi saw. membuka khutbah ‘Idnya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘Idnya dengan bacaan takbir.”
Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘Id ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin al-Sā’ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri salat ‘Id bersama Rasulullah saw., tatkala beliau selesai menunaikan salat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silahkan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silahkan ia pergi.”[31]
H.    Ucapan Selamat Hari Raya
Syaikh al-Islām Ibn Taīmiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘Id seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah salat ‘Id, “Taqobbalallāh minnā wa minkum wa ahallallāhu ‘alaīka” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya“. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”
I.       Bila Hari ‘Id Jatuh pada Hari Jumat
Bila hari ‘Id jatuh pada hari Jumat, maka bagi orang yang telah melaksanakan salat ‘Id, ia punya pilihan untuk menghadiri salat Jumat atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan salat Jumat agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan salat Jumat bisa hadir, begitu pula orang yang tidak salat ‘Id bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibn al-Zubaīr.
Dalil dari hal ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abī Rāmlah al-Syāmī, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqām,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ.
Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah saw. bertemu dengan dua ‘Id (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan salat ‘Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan salat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi saw. bersabda, “Siapa yang mau salat Jumat, maka silakan melaksanakannya.”[32]
Kedua: Dari ‘Athā’, ia berkata, “Ibn al-Zubaīr ketika hari ‘Id yang jatuh pada hari Jumat pernah salat ‘Id bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu salat Jumat Ibnu al-Zubaīr tidak keluar, beliau hanya salat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu al- Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunah (ajaran Nabi) [ashhāb al-sunnah].”[33] Jika sahabat mengatakan ashhābas sunnah (menjalankan sunah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[34]
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin al-Khattāb melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibn al-Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibn al-Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Thālib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan salat ‘Id maka ia boleh tidak menunaikan salat Jumat. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[35]
Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan salat Jumat supaya orang yang ingin menghadiri salat Jumat atau yang tidak salat ‘Id bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari al-Nu’mān bin Basyīr, ia berkata, “Rasulullah saw. biasa membaca dalam salat ‘Id dan salat Jumat “sabbihisma rabbika al-a’lā” dan “hal atāka hadīs al-ghāsyiyah”.” Al-Nu’mān bin Basyīr mengatakan begitu pula ketika hari ‘Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surah tersebut di masing-masing salat.[36] Karena imam dianjurkan membaca dua surah tersebut pada salat Jumat yang bertepatan dengan hari ‘Id, ini menunjukkan bahwa salat Jumat dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.
Siapa saja yang tidak menghadiri salat Jumat dan telah menghadiri salat ‘Id –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan salat Zuhur (4 rakaat) sebagai ganti karena tidak menghadiri salat Jumat.[37] Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan salat Idul Fitri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Disadur dari www.muslim.or.id



[1]Lihat Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul, Bughyah al-Mutathowwi’ fī Sholāh al-Tathowwu’, (cet. Pertama; Dār al-Imām Ahmad, 1427 H.) hal. 109-110.
[2]HR. Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3]Kami sarikan dari al-Raūdhah al-Nadiyah Syarh al-Durar al-Bahiyyah, Jilid I, (Cet. Pertama; Dār al-‘Aqīdah, 1422 H), h. 202.
[4]Majmū’ al-Fatāwā, Ibnu Taimiyah, jilid 24 (cet. Ketiga; Dār al-Wafā’, 1426 H.), h. 183.
[5]Yang dimaksud, kira-kira 20 menit setelah matahari terbit sebagaimana keterangan Syaīkh Muhammad bin Shālīh al-‘Utsaīmin dalam Syarh Hadīs al-Arba’īn al-Nawawīyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas hadis no. 26.
[6]Lihat Shahīh Fiqh Sunnah, jilid 1, h. 599 dan al-Raūdhah al-Nadiyah, Jilid 1, h. 206-207.
[7]Ibn al-Qayyim al-Jaūziyah, Zād al-Ma’ād fī Hadyi Khaīr al-‘Ibād, jilid 1, (Cet. Ke-14; Muassasah al-Risālah, 1407 H), h. 425. [Tahqīq: Syu'aīb al-Arnaūth dan 'Abdul Qādir al-Arnaūth]
[8]Lihat Abu Bakr Jabir al-Jazā’ir, Minhājul Muslim, (cet. Keempat; Dār al-Salām) h. 201.
[9]HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10]Al-Nawawī, Syarh Muslim, jilid 3, (Maūqi’ al-Islām) h. 280.
[11]Ibn al-Qayyim al-Jaūziyah, Zād al-Ma’ād fī Hadyi Khaīr al-‘Ibād, jilid 1, h. 425.
[12]Ibn al-Qayyim al-Jaūziyah, Zād al-Ma’ād fī Hadyi Khaīr al-‘Ibād, jilid 1, h. 425.
[13]HR. Ahmad, jilid 5, h. 352. Syaikh Syu’aīb al-Arnaūth mengatakan bahwa hadis ini hasan.
[14]Lihat Shahih Fiqh Sunnah, jilid 1, h. 602.
[15]Dikeluarkan dalam al-Silsilah al-Shahīhah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini sahih.
[16]Dikeluarkan oleh al-Baihaqī, jilid 3, h. 279. Hadis ini hasan. Lihat al-Irwa’, jilid 3, h. 123.
[17]Lihat Ibnu Taimiyah, Majmū’ al-Fatāwā, jilid 24, (cet. Ketiga; Dār al-Wafā’, 1426 H.), h. 220.
[18]HR. Bukhārī no. 977.
[19]HR. Bukhari no. 986.
[20]HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh al-Albāni mengatakan bahwa hadis ini hasan.
[21]HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[22]HR. Muslim no. 887.
[23]Ibn al-Qayyim al-Jaūziyah, Zād al-Ma’ād fī Hadyi Khaīr al-‘Ibād, jilid 1, h. 425.
[24]Kami sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, jilid 1, h. 607.
[25]Dikeluarkan oleh al-Baihāqī, jilid 3, h.291. Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abd al-Hamīd mengatakan bahwa sanad hadis ini qawīy (kuat). Lihat Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al‘Īdaīn, hal. 21, al-Maktabah al-Islāmīy, cet. pertama, tahun 1405 H.
[26]HR. Muslim no. 891.
[27]HR. Muslim no. 878.
[28]HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[29]Lihat Shahih Fiqh Sunnah, jilid 1, h. 607.
[30]Lihat keterangan dari Ibn al-Qayyim dalam Zād al-Ma’ād, jilid 1, h. 425. Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika salat ‘Id adalah Marwan bin al-Hakam.
[31]HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh al-Albāni mengatakan bahwa hadis ini sahih.
[32]HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Al-Syaūkāni dalam al-Saīl al-Jarār jilid 1, h. 304 mengatakan bahwa hadis ini memiliki syahid (riwayat penguat). Al-Nawawi dalam al-Majmū’ jilid 4, h. 492 mengatakan bahwa sanad hadis ini jayyid (antara sahih dan hasan). ‘Abd al-Haq al-Syubaīli dalam al-Ahkām al-Shugrā mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih. ‘Ali al-Madīni dalam al-Istidzkār jilid2, h.373 mengatakan bahwa sanad hadis ini jayyid (antara shahih dan hasan). Syaikh al-Albāni dalam al-Ajwibah al-Nāfi’ah mengatakan bahwa hadis ini sahih. Intinya, hadis ini bisa digunakan sebagai hujah atau dalil.
[33]HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh al-Albāni mengatakan bahwa hadis ini sahih.
[34]Lihat Shahih Fiqh Sunnah, jilid 1, h. 596.
[35]Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abū Mālik, jilid 1, h. 596, al-Maktabah al-Taūfīqiyah.
[36]HR. Muslim no. 878.
[37]Lihat Fatwa al-Lajnah al-Dā’imah li al-Buhūts ‘Ilmiyah wa al-Iftā’, juz 8, h. 182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com