Jumat, 02 November 2012

Makna Tafsir dan Takwil Serta Hubungan Antara Keduanya




 
1.    Tafsir

Kata “tafsir” merupakan bentuk “taf’il” dari kata al-Fasr, yang secara etimologis berarti al-Bayan wa al-Kasyf  (penjelasan dan penyingkapan). Dikatakan : fasara al-Syai’, yafsiruhu  dan yafsuruhu, fasran. Dan kata fassara-tafsiran, yang berarti menjelaskan sesuatu.

Kata al-Fasr  berarti kasyf al-Mughaththa’  (menyingkap sesuatu yang tertutup). Sedangkan kata al-Tafsir  berarti menyingkap makna yang dikehendaki dari suatu kata,[1] yakni penjelasan terhadap kata tersebut. Di dalam al-Qur’an disebutkan :
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik tafsirannya.”[2]
Yakni yang paling baik penjelasannya.

Sebagian ulama’ berkata : Ia merupakan kata yang susunan hurufnya berkebalikan dengan kata safara, yang artinya juga penyingkapan. Dikatakan : “Safarat al-Mar’atu Sufuran” , yang artinya “seorang perempuan membuka kerudung mukanya”. Perempuan itu disebut “safirah”. Kata “Asfara al-Shubhu” , berarti pagi telah menjadi terang.


Al-Raghib al-Ashfahani berkata, kata “al-Fasru”  dan “al-Safru”  berdekatan maknanya, sebagaimana kedekatan susunan hurufnya. Namun kata “al-Fasru”  digunakan untuk menyatakan penyingkapan sesuatu yang abstrak, sedangkan kata “al-Safru”  digunakan untuk menyatakan penyingkapan sesuatu yang konkrit. Sehingga dikatakan : Safarat al-Mar’atu (seorang perempuan menyingkapkan kerudung mukanya) dan Asfara al-Subhu  (pagi telah menjadi terang).[3]

Dengan uraian singkat itu jelaslah bahwa makna tafsir secara etimologis adalah penjelasan, penyingkapan dan penampakan makna suatu kata. Kata itu juga dipakai untuk menyingkapkan sesuatu yang konkrit.

Fi’il mujarrad  (yakni kata kerja yang jumlah hurufnya belum mendapatkan tambahan)nya, yakni “fasara”  sewazan dengan “dharaba”  dan “nashara”. Namun bentuk mazid  (yang sudah mendapatkan tambahan) lebih banyak digunakan. Mereka menggunakan bentuk berwazan “taf’il”, karena untuk menunjukkan makna banyak. Misalnya firman Allah swt. :
يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ
            “mereka banyak menyembelih putra-putra kalian”[4]
Karena seorang mufassir melakukan penafsiran surat demi surat dan ayat demi ayat.

            Sedangkan secara terminologis, ada banyak sekali defenisi tafsir yang dikemukakan ulama’, yang populer antara lain :
1.      Abu hayyan menuturkan, bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tata cara pengucapan kata-kata al-Qur’an, maknanya, hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, baik per-kata maupun rangkaian kata dan kelengkapannya, seperti pengetahuan tentang nasakh, sabab nuzul  dan lain-lain.[5]
2.      Yang lain mendefinisikan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas hal ihwal al-Qur’an dari segi makna yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala sesuai dengan kemampuan manusia.[6]
3.      Al-Zarkasyi mendefinisikan, tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memehami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.[7]
4.      Ulama juga mendefinisikan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas hal ihwal al-Kitab al-Aziz dari segi turunnya, sanadnya, penyampaiannya, kata-katanya dan makna-maknanya yang berkaitan dengan kata dan yang berkaitan dengan hukum.[8]

Masih banyak definisi lainnya. Sebagian besar mufassir cenderung kepada definisi pertama, yakni definisi Abu Hayyan. Hanya saja definisi kedua, menurut saya lebih mudah dan lebih singkat. Disamping itu, defenisi kedua juga tidak terlalu jauh dengan definisi pertama. Definisi kedua ini juga didukung oleh al-Zarqani.[9]

2.    Takwil

Secara etimologis, takwil terambil dari kata al-aul, yang berarti al-Ruju’  (kembali). Dari kata dasar ala al-Syai‘-ya’ulu-aulan wa ma‘alan, yang berarti raja’a (kembali). Kata Awwala ilahi al-syai   berarti kembali kepadanya. Kata ultu ’an al-syai‘  berarti aku mencabut diri dari sesuatu. Seakan akan seorang pentakwil mengembalikan pembicaraan kepada salah satu maknanya.[10] Dikatakan : awwala al-kalam ta‘wilan, berarti seseorang menjelaskan dan memperkirakan suatu pembicaraan. Kata takwil juga digunakan untuk arti tafsir mimpi.[11]

Orang yang mencermati ayat-ayat al-Qur’an al-Karim akan menemukan bahwa kata takwil digunakan untuk berbagai arti. Misalnya di dalam firman Allah Ta’ala: وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ  “dan tidaklah ada yang  mengetahui takwilnya kecuali Allah” [12]. Maknanya adalah tafsirnya. Jadi keduanya memiliki makna yang sama (sinonim).

Dalam firman-Nya: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikaknlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya.” [13] Maksudnya lebih baik konsekuensi dan kesudahannya. Dalam firman-Nya: “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali takwilnya.” [14] Dan Firman-Nya : “Bahkan yang sebenarnya mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka takwilnya.”[15] Yang dimaksud adalah terjadinya apa yang diberitakan. Dan masih banyak lagi makna takwil lainnya yang digunakan di dalam al-Qur’an.

Dari makna pertama, yakni takwil dengan makna tafsir, Syaikh al-Mufassirin al-Thabari menggunakannya. Ketika menafsirkan suatu ayat atau beberapa ayat, beliau mengatakan : Pendapat tentang takwil itu adalah begini dan begini. Beliau juga berkata, para ahli takwil berbeda pendapat tentang ayat ini. Yang beliau maksud adalah tafsir. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud takwil adalah tafsir menurut ulama salaf, dan keduanya merupakan kata sinonim.

Adapun definisi takwil menurut terminologi ulama tafsir,[16] ada perbedaan pendapat dikalangan mereka. Perbedaan ini mengharuskan adanya penjelasan antara perbedaan dan penjelasan hubungan diantara takwil dan tafsir. Berikut saya kemukakan pendapat mereka :
1.      Abu Ubaidah berkata, takwil adalah menafsirkan suatu pembicaraan dan menjelaskan maknanya. Denngan demikian, tafsir dan takwil adalah sinonim.
2.      Al-Raghib berkata, tafsir lebih luas daripada takwil dan lebih banyak digunakan untuk kata per-kata, baik dalam Kitab-Kitab Samawi maupun yang lain. Sedang takwil digunakan untuk makna kalimat per-kalimat dan hanya pada Kitab-Kitab Samawi.[17] Dengan demikian, diantara tafsir dan takwil terdapat makna umum dan khusus.
3.      Al-Maturidi berkata, tafsir adalah memastikan bahwa yang dimaksud oleh Allah Ta’ala adalah begini, sedangkan takwil adalah men-tarjih-kan salah satu makna yang mungkin, tanpa memastikan. Keduanya jelas berbeda.
4.      Ada yang mengatakan, tafsir adalah yang berhubungan dengan riwayat, sedangkan takwil adalah yang berhubungan dengan dirayah. Ini diceritakan oleh al-Zarkasyi dari al-Bajili.[18] Definisi ini juga menunjukkan bahwa keduanya berbeda.
5.      Ada yang mengatakan, takwil adalah yang dikehendaki dari suatu kalimat. Bila kalimat itu berbentuk kalimat berita, maka takwilnya adalah obyek yang diberitakan. Dan bila kalimat itu berbentuk tuntutan, maka takwilnya adalah obyek yang dituntut.
Namun hal ini, menurut al-majd ibn Tamiyyah, adalah bahasa al-Qur’an, sehingga kata takwil yang ada di dalam al-Qur’an al-Karim bisa dikembalikan kepada makna ini.

            Disamping ragam pendapat itu, kita juga bisa melihat sebagian mufassir, terutama ulama muta‘akhkhirin, yang cenderung untuk membedakan antara tafsir tan takwil.

            Sebagian men-tarjih-kan pendapat al-Maturidi. Yang lain mentarjihkan pendapat al-Bajili yang diceritakan oleh al-Zarkasyi.

            Namun menurut pendapat DR. YUNUS HASAN ABIDU, tafsir dan takwil adalah sinonim. Keduanya memiliki makna yang sama, yaitu menyingkap dan menjelaskan makna yang dikehendaki. Tafsir adalah takwil dan takwil adalah tafsir. Ini dilihat dari segi makna yang ditunjukkan oleh kedua kata itu atau dari makna yang dikehendaki oleh masing-masing kata itu, meski makna dasarnya atau penggunaannya oleh ulama mutaakhkhirin berbeda. Dengan dasar inilah kita dapat memahami sabda Rasulullah saw. sewaktu mendoakan Ibn Abbas r.a: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ  “Yaa Allah, pahamkan ia dalam masalah agama dan ajarkan kepadanya takwil.”  Maksudnya adalah tafsir.

            Denngan demikian, apa yang dituturkan oleh Abu Ubaidah dan yang sejalan dengannya berkenaan dengan makna takwil adalah pendapat yang kuat.

            Al-‘Allamah al-Alusi berkata : “Menurut saya, bila yang dimaksud adalah membedakan antara tafsir dan takwil dari segi penggunaannya, maka semua pendapat, baik yang telah anda dengar maupun yang belum anda dengar menyimpang dari penggunaan saat ini. Sebab tidak dipungkiri lagi bahwa kata takwil digunakan untuk isyarat kilat dan pengetahuan-pengetahuan suci yang tersingkap dari balik teks yang ada yang dimiliki oleh orang-orang yang menempuh jalan spiritual dan keluar dari awan keghaiban di hati kaum ‘arif, sedang tafsir adalah selain itu. Dan bila yang dimaksud adalah membedakan antara keduanya dari segi makna yang ditunjukkan oleh suatu kata secara langsung, maka saya tidak mengira anda akan ragu untuk menolak pendapat-pendapat itu. Atau dari segi manapun, maka saya tidak melihat anda rela kecuali bahwa di dalam setiap kasyaf (penyingkapan makna secara langsung) ada upaya pemahaman rasional dan dalam setiap upaya pemahaman rasional ada kasyaf. Camkan baik-baik hal ini.”[19]

            Ibn Faris berkata, makna-makna kata yang digunakan untuk menyatakan sesuatu terdiri dari tiga hal, yaitu makna, tafsir dan takwil. Ketiganya meski berbeda, tetapi memiliki tujuan yang hamper sama.


[1]Lihat Tarikh al-Jadal  karya Abu Zahrah, 208.
[2]QS. al-Furqan [25] : 33
[3]Lihat misalnya al-Mawaqif  karya al-Jurjani, juz 8; al-Tabashshur fi al-Din  dan al-Farq Bain al-Firaq  karya al-Baghdadi; al-Milal wa al-Nihal  karya al-Syahrastani; dan al-Fashl fi al-Milal wa al-Nihal  karya Ibn Hazm al-Dhahiri.
[4]QS. al-baqarah [2] : 49
[5]Lihat Tafsir al-Fakhr al-Razi, VI / 471 dan al-Madzahib al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim, 130.
[6]Lihat Tafsir al-Kasysyaf, I / 397-398
[7]Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari di dalam pengantar tafsirnya yang berjudul al-Mukhtazin seperti dikutip oleh penulis Tabyin Kidzb al-Muftara; Takwil Mukhtalif al-Hadis  karya Ibn Qutaibah; Tafsir al-Fakhr al-Razi  di setiap tempat perbedaan diantara Mu’tazilah dan Ahli Sunnah; Ibnu Taimiyah di dalam Muqaddimah Tafsirnya dan Ibnu al-Qayyim di dalam I’lam al-Muwaqqi’in.
[8]Lihat al-Fihrist  karya Ibnu al-Nadim, 51 dan Thabaqat al-Mufassirin  karya al-Suyuthi, 23.
[9]Lihat Kasyf al-Dhunun, I / 234.
[10]Lihat al-Tafsir wa al-Mufassirun, I / 389.
[11]Lihat Tafsir al-Bahr al-Muhith  karya Abu Hayyan, I/101
[12]QS. Ali ’Imran [3] : 7
[13]QS. al-Nisa‘ [4] : 59
[14]QS. al-A’raf [7] : 53
[15]QS. Yunus [10] : 39
[16]Ia adalah seorang ulama yang memberikan komentar pada al-Kasysyaf
[17]Lihat Kasyf al-Dhunun, II / 176-177.
[18]Lihat al-Bahr al-Muhith, VII / 85
[19]Lihat al-Namadzij al-Khairiyyah, 310.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com