Minggu, 28 Oktober 2012

Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam





            Ditinjau dari segi fungsinya, sunnah mempunyai hubungan yang sangat kuat dan erat sekali dengan al-Qur’an. Sunnah al-Nabawiyah mempunyaifungsi sebagai sebagai penafsir al-Qur’an dan menjelaskan kehendak-kehendak Allah swt. Dalam perintah dan hukum-hukum-Nya. Dan dika ditinjau dari segi dilalah-nya (indeksial)nya terhadap hukum-hukum yang dikandunng al-Qur’an, baik secara global maupun rinci, status sunnah dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu :

1.    Sebagai pengukuh (ta’kid) terhadap ayat-ayat al-Qur’an

Sunnah dikaitkan sebagai pengukuh ayat-ayat al-Qur’an apabila makna yang terkandung di dalamnya cocok dengan dengan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Nabi saw. bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يُمْلِي لِلظَّالِمِ، فَإِذَا أَخَذَهُ، لَمْ يُفْلِتْهُ [1]
                “Sesungguhnya Allah swt. memanjangkan kesempatan kepada orang-orang zalim, apabila Allah menghukumnya maka Allah tidak akan melepaskannya.”


            Hadis\ tersebut cocok dengan firman Allah swt. :
وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ [2]
“dan Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.”

            Hadis yang berfungsi sebagai pengukuh (penta’kid) ayat-ayat al-Qur’an jumlahnya banyak sekali, sperti hadis-hadis yang menunjukkan atas wajibnya shalat, zakat, haji, amal, berbuat baik, member maaf, dan sebagainya.

2.    Sebagai penjelas terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’an

Hadi>s\ dalam fungsi ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

a.    Menjelaskan ayat-ayat mujmal

Hadi>s\ dalam fungsi ini diantaranya ialah hadi>s\ yang menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan hukum-hukumnya, dari segi praktiknya, syarat, waktu, dan tatacaranya, seperti masalah s}alat dimana di dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara rinci tentang bilangan rakaat, waktu, rukun, syarat, dan sebagainya. Tetapi semua itu dijelaskan oleh sunnah.

b.    Membatasi lafaz} yang masih muthlaq dari ayat-ayat al-Qur’an

Hadi>s\ yang membatasi kemut}lakan lafaz} dari ayat al-Qur’an ini ialah seperti hadis-hadis yang menjelaskan tentang lafaz} al-Yad (tangan) yang terdapat dalam ayat al-Qur’an :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Bahwa yang dimaksud memotong tangan dalam ayat tersebut adalah tangan kanan dan pemotongannya adalah sampai pergelangan tangan, tidak sampai siku.

c.    Mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum

Hadis dalam kategori ini ialah seperti hadis yang mengkhususkan makna zalim dalam firman Allah swt. :
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ [3]
“ orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut adalah menyekutukan Allah. Peristiwanya ialah sewaktu ayat tersebut turun, sebagian sahabat mengira bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut ialah zalim dalam arti umum, sehingga dia berucap, “Siapakah diantara kita yang tidak pernah berbuat zalim?”  kemudian Nabi saw. menjawab, “Bukan itu yang dimaksud, tetapi yang dimaksud zalim pada ayat itu ialah menyekutukan Tuhan (syirik).”

d.    Menjelaskan makna lafaz yang masih kabur

Diantaranya  ialah seperti hadis yang menjelaskan makna dua lafaz “al-Khaithu”  dalam firman Allah swt. :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[4] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."

Peristiwanya ialah sebagian sahabat ada yang mengira bahwa yang dimaksud dengan benang dalam ayat itu ialah tali yang berwarna hitam dan putih. Kemudian Nabi saw. bersabda, bahwa yang dimaksud ialah terangnya siang dan gelapnya malam.

3.    Menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an

Contoh sunnah semacam ini banyak sekali, seperti hadis-hadis yang menetapkan hukum haram mengawini (poligami) seorang perempuan beserta bibinya, riba fadhl, dan makandaging himar piaraan.

4.    Mengahpus ketentuan hukum dalam al-Qur’an

Sebagian ulama ada yang membolehkan sunnah menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an, diantaranya ialah seperti hadis  :
أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ الأَحْوَلِ، عَنْ مُجَاهِدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»
“dari syafi’i ra. Ia mengkahabarkan kepada kami, ia berkata : telah dikhabarkan kepada kami ‘uyainah dari sulaiman al-Ahwali dari mujahid ia berkata : bahwa rasulullah saw. Bersabda : ‘tidak boleh berwasiat (memberikan harta peninggalan) kepada ahli waris’.”

Hadis tersebut menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an tentang diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua orang tua, atau kerabat-kerabat waris lainnya, sebagaimana firman Allah swt. :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[5], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”




[1]sunan Ibnu majah, hadis ke 4018
[2]Q.S Hu>d
[3]Q.S al-an’am :82
[4]I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
[5]Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com